Rabu, 30 Desember 2015

MENELISIK NOWRUZ, TAHUN BARU PERSIA.Lalu, sejak kapan masyarakat Persia memiliki penanggalan sendiri? Kalau dilacak secara historis,


Jam berdentang, tepat pukul dua dini hari. Langit Teheran yang seharian diguyur hujan, kini bertaburan kembang api dan petasan. Dari balik jendela kamar, terlihat lampu-lampu apartemen di seberang jalan menyala terang. Saya membayangkan, keluarga Iran yang sedang duduk mengelilingi meja berhias aneka kue, menyambut datangnya nowruz atau tahun baru Persia. Beberapa tahun lalu, saya pernah diundang menghadiri perayaan nowruz. Waktu itu, pergantian tahun terjadi pada sore hari. Pergantian tahun baru Iran dinamis. Tahun lalu, sekitar jam 8 malam dan tahun ini semakin bergeser hingga dini hari.

Satu Farvardin, bertepatan dengan 21 Maret, adalah penanggalan tahun baru Iran. Di Indonesia, kita sudah terbiasa mendengar tahun baru Masehi, tahun baru Hijriah, tahun baru Cina, dan tahun baru Saka. Tapi, bagi sebagian besar masyarakat kita, mungkin masih asing dengan istilah tahun baru Persia. Sebenarnya, tahun baru ini tidak hanya milik masyarakat Iran saja, penduduk negara-negara yang dulu di bawah pengaruh kekasairan Persia kuno juga bersuka cita merayakan Nowruz, seperti Afganistan, Tajikistan, Azarbeijan, Kyrgyzystan, Turkmenistan, bangsa Kurdi di sebagian wilayah Irak dan Suriah, Turki serta Pakistan. Bahkan, tradisi nowruz ini sudah terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya dunia sejak tanggal 23 Februari 2010. Selain itu, Nowruz juga menjadi hari raya penganut agama Bahai. Menurut peneliti Iran, Mehrdad Bahar, tradisi Nowruz sudah dirayakan tiga ribu tahun sebelum Masehi.

Lalu, sejak kapan masyarakat Persia memiliki penanggalan sendiri? Kalau dilacak secara historis, kalender Iran sudah disusun jauh sebelum datangnya Islam, bahkan pra Masehi, yaitu sejak tahun 1725 sebelum Masehi. Seiring masuknya Islam ke dataran Persia, Omar Khayam, seorang matematikawan sekaligus astronom Muslim Persia, melakukan koreksi penanggalan yang disesuaikan dengan kalender hijriah. Tapi kalender Iran tetap mengikuti sistem kalender surya. Sekarang Iran memasuki Tahun 1394 setara dengan 1436 Hijriah. Begitu juga, nama bulan dalam kalender Iran tetap mempertahankan nama Persia kuno, seperti: Farvardin, Ordibehest, Khordad, Tir, Mordad, Shahrivar, Mehr, Aban, Azar, Day, Bahman, dan Esfand.

Tradisi Nowruz

Sebelum orang-orang Iran duduk manis menyambut tahun baru, ada serangkaian tradisi panjang yang mereka lewati. Dua minggu menjelang Nowruz, masyarakat Iran sudah sibuk bercerita kegiatan mereka melakukan Khaneh Tekani. Secara leksikal, Khaneh Tekani adalah menggoyang rumah. Tapi maksud sebenarnya Khaneh Tekani adalah simbol membersihkan kotoran lahir dan batin dari rumah dan penghuninya untuk menyambut musim semi. Biasanya orang Iran menata ulang dekorasi rumah, dari sekedar mengganti warna cat, memindahkan posisi mebel, sampai mengganti barang-barang yang sudah tidak layak. Mereka ingin suasana rumah baru di tahun yang baru.

Hari-hari berikutnya mereka akan sibuk memilih berbagai hadiah untuk kerabat dan teman, membeli baju-baju baru, dan menyiapkan berbagai keperluan mudik. Di akhir penutupan tahun, sebagian besar orang Iran berziarah ke makam-makam kerabat maupun ulama. Mereka berharap dengan mengenang orang-orang salih (kalau di Indonesia mungkin para wali) akan mendapat keberkahan di tahun yang akan datang. Di sini, saya melihat banyak kesamaan dengan tradisi lebaran di Indonesia. Tapi, ada tradisi unik yang hanya terdapat dalam nowruz, yaitu haft sin.

Haft, dalam bahasa Persia berarti angka 7 yang dipercaya memiliki makna tersendiri. Sin, adalah salah satu huruf Persia dan Arab. Maksud haft sin, tujuh jenis makanan berawalan sin yang wajib ada dalam setiap perayaan tahun baru. Haft sin sendiri melambangkan filosofi nowruz. Ketujuh makanan tersebut antara lain: Sabze (tunas gandum), melambangkan kelahiran kembali dan kesuburan; Samanu (semacam dodol dari gandum), sebagai simbol kemakmuran; Sib (apel), menandakan kesegaran dan kecantikan; Sir (bawang putih), melambangkan kesehatan dan kedamaian; Serkeh (cuka), menandakan kelestarian, karena cuka mengawetkan makanan; Somagh (sejenis bumbu dapur dan obat), melambangkan kemenangan atas pengaruh jahat; Senjed (buah pohon lotus), sebagai simbol cinta dan perlindungan.

Selain tujuh jenis makanan itu, ada ornamen lainnya seperti ikan dan telur yang dihias sebagai simbol produktivitas dan kreativitas. Ada juga cermin dan lilin, yang melambangkan refleksi masa depan dan cahaya penerang. Satu lagi benda yang wajib ada adalah Quran sebagai lambang kesucian.

Pengalaman saya berkunjung ke acara tahun baru di Iran, biasanya satu atau dua jam menjelang pergantian tahun, mereka berkumpul mengelilingi meja. Setiap keluarga melakukan aktivitas yang beragam. Ada yang mengaji Quran, ada yang bergantian membaca puisi Hafez, ada juga yang hanya sekedar berbincang hangat. Tapi, semua mengakhiri kegiatan mereka dengan merapalkan doa-doa untuk kemudahan di tahun berikutnya. Sebenarnya yang menarik bagi saya, bukan seberapa unik acara nowruz, tapi bagaimana sisi budaya dan nilai agama bisa bertemu dan saling mengisi. Barangkali, inilah yang disebut Gus Dur sebagai upaya “kulturalisasi” agama.  

Di Tanah Air tercinta, kita juga memiliki berbagai perayaan yang terinspirasi dari ajaran agama dan tradisi lokal seperti grebek maulid Nabi, syawalan, syukuran 7 bulan kehamilan, akikah, dan banyak lagi. Sayangnya, sebagian tradisi ada yang mulai jarang kita temui seperti peringatan bubur merah dan putih pada hari Asyura. Bukan hal yang mustahil, bila tidak dijaga dengan baik, kelak tradisi itu hanya akan menjadi cerita anak cucu kita. Sementara, beragama dengan mengabaikan tradisi, akan terasa kering.

Tampaknya, lestarinya tradisi Nowruz hingga kini sebagai bentuk dari “Pribumisasi Islam” di tanah Persia. Sebagaimana ditegaskan Gus Dur dalam “Islamku, Islam Anda dan Islam Kita”(2006:xvii), kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini berkembang secara kultural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar