Jakarta (
voa-islam.com)
- Mayor Jendral Purnawirawan Kivlan Zein menyatakan jika program Jokowi
terkait revolusi mental merupakan hasil adopsi dari apa yang pernah
diucapkan oleh mantan ketua PKI di tahun 60′an, Dipa Nusantara Aidit.
Dengan keras ia menyatakan jika revolusi mental merupakan turunan dari
PKI (Partai Komunis Indonesia).
Hal itu dikatakan oleh Kivlan Zein saat menghadiri acara Sayap Tanah Air di Sukmajaya, Depok, Kamis (27/6/14).
“Sekarang kita sudah diatas angin dan mereka kotak-kotak me resah dan
takut sehingga meraka membuat on dengan membakar dan mencabut banyak
atrib kita sehingga terjadi bentrok. Revolusi yang mereka gadang adalah
turunan dari PKI karena pertama kali yang menyatakan Revolusi mental
adalah Aidit. Kita tahu Aidit adalah tokoh PKI, oleh sebab itu beritahu
kepada masyarakat semua tentang revolusi mental ,” jelasnya.
Fadli Zon : Revolusi Mental Jokowi Ikuti Visi Komunis Mao Tse Tung
Menanggapi 'Revolusi Mental' ala Jokowi itu, kemudian Fadli Zon dalam
cuitannya juga menyebut Karl Marx menggunakan istilah 'Revolusi Mental'
pada tahun 1869 dalam karyanya, Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte,
cetus Fadli Zon.
Selanjutnya, menurut Fadli, “Aidit PKI,
hilangkan nama Achmad dari nama depannya dan ganti dengan Dipa Nusantara
(DN) dengan alasan 'Revolusi Mental' yaitu hapus yang berbau agama,”
sambungnya.
Aidit PKI, hilangkan nama Achmad dari nama
depannya dan ganti dengan Dipa Nusantara (DN) dengan alasan 'Revolusi
Mental' yaitu hapus yang berbau agama
Namun, menurut Frances
Wood, mahasiswa Inggris, mengatakan, sejak 1966 Cina diramaikan
hiruk-pikuk gerakan antikapitalisme. Tentara Merah menyerang para dosen,
dokter, seniman, novelis, dan mereka yang dianggap tidak mewakili kaum
proletar.
Gonjang-ganjing terus berlangsung sampai tahun 1975,
meski tak lagi diwarnai kekejaman. Frances Wood, mahasiswi Inggris yang
belajar di Institut Bahasa Asing dan Universitas Beijing tahun 1975 –
1976, ikut menyaksikan “The Great Proletarian Cultural Revolution”, yang
pada masa Mao Zedong diteriakkan dengan penuh semangat, belakangan
justru dianggap sebagai “Dasawarsa Penuh Bencana”.
Ketika saya
belajar sastra Cina di Universitas Cambridge, 1968 – 1971, Cina sedang
berada di puncak Revolusi Kebudayaan. Dunia luar tak banyak tahu apa
yang sebenarnya terjadi, kecuali laporan media massa Eropa tentang
mayat-mayat yang hanyut di Pearl River, dekat Hongkong dan Makao.
Selain menutup diri, negeri itu menolak segala yang berunsur Barat.
Sebagai mahasiswa yang ingin belajar lebih lanjut, saya tak punya
harapan untuk pergi ke Cina. Tapi dari sumber kepustakaan saya tahu,
Cina senantiasa berubah seirama dengan perubahan kebijakan para
pemimpinnya. Saya hanya bisa berharap dari perubahan itu.
Pemimpin Besar Mao Tse Tung memainkan peran penting sejak berdirinya Republik Rakyat Cina pada 1949.
Ia menyingkirkan para pesaing dan musuhnya. Misalnya, ia menyerukan
gerakan Anti-Kanan pada 1957 untuk menyingkirkan Zhou Enlai, pelopor
gerakan Seratus Bunga tahun 1956.
Mao memprakarsai gerakan
“Lompatan Jauh ke Depan” pada 1958 untuk memberi warna khusus bagi
komunisme Cina. Berbeda dengan Soviet yang bertumpu pada industri berat,
Mao menggalakkan pertanian yang ditunjang industri kecil di pedesaan.
“Kalau Stalin hanya punya satu kaki, industri berat, kita punya dua
kaki, yakni pertanian dan industri kecil,” ucap Mao.
Para pejabat
sadar, ambisi Mao terlalu utopis. Tapi karena takut, mereka memberi
laporan ABS. Angka produksi digelembungkan, data dan foto hasil panen
direkayasa, sementara kenyataannya para petani menderita. Sepanjang 1958
– 1961 tak kurang dari 30 juta orang meninggal karena kelaparan.
Akhir 1958 Mao mundur dari jabatan sebagai pimpinan Partai Komunis. Ia
sengaja mengambil jarak dari pusat kekuasaan agar bisa melihat betapa
para pimpinan menjadi borjuis dan korup. Rakyat kehilangan semangat
revolusioner. Bagi Mao, kenyataan itu tak bisa dibiarkan. Harus ada
reformasi untuk meluruskan kembali jalan revolusi. Itulah Revolusi
Kebudayaan. “Kebudayaan” tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh
aspek dan lembaga kemasyarakatan.
Mao mengerahkan ribuan pelajar
dan mahasiswa ke Lapangan Tiananmen di pusat Kota Beijing. Mereka
membawa buku kecil warna merah, The Little Red Book, berisi kutipan
naskah-naskah pidato Mao.
Belakangan gerakan diperluas ke
kalangan pekerja, buruh, dan petani. Mereka mengecam siapa pun yang
berada dalam posisi pimpinan. Sering kecaman berubah menjadi sanksi atau
hukuman. Korban berjatuhan, baik karena hukuman maupun bunuh diri.
Seorang dokter ahli bedah otak, misalnya, tiba-tiba dimutasi menjadi
petugas kebersihan WC. Dosen atau petinggi universitas dialihtugaskan ke
peternakan babi. Birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan
rakyat.
Revolusi Kebudayaan juga menyertakan istri Mao, mantan
bintang film tak terkenal Jiang Qing, untuk menyingkirkan para
pesaingnya dalam ranah kesenian. Opera, film, dan panggung teater
didominasi produksi Madam Mao. Lukisan bunga dan alam tak boleh
dipasang, diganti gambar bendera merah, traktor di ladang, atau gambar
Mao dalam ekspresi heroik.
Kaum perempuan tak boleh lagi berambut
panjang dan dandan sesukanya. Jika ketahuan Tentara Merah, rambut
mereka akan dipotong dan celana panjang ketat mereka akan dirobek di
depan umum. Banyak pengarang dipenjara, dibuang ke kamp kerja paksa,
atau dibiarkan frustrasi hingga bunuh diri. Beberapa pemusik atau pianis
dipotong jarinya oleh Tentara Merah.
Sejak 1971 keadaan menjadi
normal dalam versi Mao. Sekolah dan universitas dibuka kembali dengan
syarat hanya buruh dan petani yang boleh belajar. Mahasiswa asing dan
turis boleh datang, meski dalam wilayah terbatas. Para turis hanya
disuguhi traktor dan sistem irigasi disertai pidato propaganda.
Saya beruntung tahun itu bisa ikut dalam rombongan pertama mahasiswa
asing yang mengunjungi Cina setelah tertutup sejak 1966. Saya senang
bukan karena bisa berkomunikasi dengan rakyat Cina dalam bahasa mereka,
tetapi karena setiap kali bisa berbagi makan dengan mereka yang ternyata
memang kelaparan.
Mungkinkah yang dimaksudkan 'Revolusi Mental'
ala Jokowi itu, juga 'Revolusi Kebudayaan' ala Mao Tse Tung? Revolusi
yang dijalankan oleh Mao di daratan Cina, dan mengubah rakyatnya secara
radikal dengan dasar ideologi komunis. (jj/berbagaisumber/voa-islam.com)
sMayor Jendral Purnawirawan Kivlan Zein menyatakan jika program Jokowi
terkait revolusi mental merupakan hasil adopsi dari apa yang pernah
diucapkan oleh mantan ketua PKI di tahun 60′an, DN Aidit. Dengan keras
ia menyatakan jika revolusi mental merupakan turunan dari PKI.
Hal itu dikatakan oleh Kivlan Zein saat menghadiri acara Sayap Tanah Air di Sukmajaya, Depok, Kamis (27/6/14).
“Sekarang kita sudah diatas angin dan mereka kotak-kotak me resah dan
takut sehingga meraka membuat on dengan membakar dan mencabut banyak
atrib kita sehingga terjadi bentrok. Revolusi yang mereka gadang adalah
turunan dari PKI karena pertama kali yang menyatakan Revolusi mental
adalah Aidit. Kita tahu Aidit adalah tokoh PKI, oleh sebab itu beritahu
kepada masyarakat semua tentang revolusi mental ,” jelasnya.
Sementara itu, Walikota Depok, Nur Mahmudi I’smail yang turut hadir
dalam orasi politiknya mengajak para relawan untuk tidak lengah dan
mengajak para masyarakat serta kader untuk datang ke TPS pada tanggal 9
Juli mendatang.
“Pentingnya relawan sangat dibutuhkan dalam
menangkal isu-isu negatif serta money politik. Oleh sebab itu relawan
tidak boleh lengah, relawan juga harus hadir di setiap TPS. Kawal terus
jangan sampai ada kekeliruan yang tidak di inginkan,”ungkap Mahmudi
dalam orasinya.
- See more at:
http://depoknews.com/revolusi-mental-hasil-adopsi-dari-uc…/… - See more at:
http://www.voa-islam.com/…/konsep-revolusi-mental-jokowi-…/…